Minggu, 29 Agustus 2010

shalat jum`at

Shalat Jum’at dua raka’at ba’da khutbah, imam disunnahkan membaca surat al-A’la di raka’at pertama dan surat al-Ghasyiyah di raka’at kedua, atau surat al-Jumu’ ah dengan surat al-Munafiqun.

Jumhur Ulama termasuk tiga imam, Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa makmum masbuq mendapatkan shalat Jum’at manakala dia mendapatkan satu raka’at, jika tidak maka dia shalat Zhuhur.

Misalnya, makmum masuk ketika imam sedang membaca surat al-Ghasyiyah, maka setelah imam salam, dia bangkit untuk shalat satu raka’at karena dia mendapatkan Jum’at, seandainya dia masuk pada saat imam ‘Sami’allahu liman hamidah’ di raka’at kedua, maka setelah imam salam dia bangkit shalat Zhuhur empat raka’at.

Dalil pendapat ini adalah sabda Nabi saw,


مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَة .


Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu.” Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah.

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa makmum masbuq mendapatkan Jum’at jika dia mendapatkan tasyahud imam, maka dia cukup shalat dua rakaat setelah salam imam dan shalatnya sempurna.

Waktu Shalat Jum’at

Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu shalat Jum’at adalah waktu shalat Zhuhur berdasarkan hadits Anas bahwa Nabi saw shalat Jum’at manakala matahari telah condong ke barat. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad.

Salamah bin al-Akwa’ berkata, “Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah saw apabila matahari tergelincir, kemudian kami pulang menelusuri bayangan.” Diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad.

Imam Ahmad berpendapat, boleh shalat Jum’at sebelum waktu Zhuhur karena waktunya mulai dari waktu shalat Id sampai akhir waktu Zhuhur, pendapat ini berdalil kepada hadits Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah saw shalat Jum’at, kemudian kami menengok unta-unta kami dan kami mengistirahatkannya manakala matahari tergelincir.” Diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa`i dan Ahmad.

Jumhur menjawab hadits Jabir bahwa ia menunjukkan kesegeraan dalam pelaksanaannya ba’da zawal tanda menunggu turunnya panas matahari. Wallahu a’lam.

Jumlah Hadirin dalam Shalat Jum’at

Shalat Jum’at dilaksanakan di suatu tempat di mana penduduknya adalah orang-orang yang tinggal permanen, bukan orang-orang yang nomaden yang hidup berpindah-pindah dan tidak menetap di suatu tempat.

Adapun tentang jumlah minimal hadirin dalam shalat Jum’at, maka banyak pendapat, Imam Abu Hanifah berpendapat empat orang termasuk imam, Imam Malik berpendapat tidak ada ketentuan jumlah, yang penting berjamaah, Imam asy-Syafi'i berpendapat empat puluh termasuk imam.

Pihak yang tidak menetapkan syarat jumlah tertentu berdalil kepada hadits Thariq bin Syihab bahwa Nabi saw bersabda,


الجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إلا أَرْبَعَة عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ وَامْرَأةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيْضٌ


Shalat Jum’at adalah hak wajib atas setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih di atas syarat al-Bukhari dan Muslim.”

Sedangkan pihak yang mensyaratkan empat puluh, maka mereka berdalil kepada hadits Abdurrahman bin Ka’ab dari bapaknya berkata, “Orang pertama yang mendirikan shalat Jum’at untuk kami di Madinah sebelum Rasulullah saw tiba adalah As’ad bin Zurarah di Naqi’ al-Khadhamat.” Aku bertanya, “Berapa jumlah kalian saat itu?” Dia menjawab, “Empat puluh.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi. An-Nawawi berkata, “Hadits hasan.” Wallahu a’lam.

Hari Raya di hari Jum’at

Jika hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at maka gugur kewajiban shalat Jum’at bagi siapa yang hadir di shalat Id, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Iyas bin Abu Ramlah asy-Syami berkata, aku melihat Mu'awiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah kamu pernah menyaksikan dua hari Raya dalam satu hari bersama Rasulullah saw?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu'awiyah bertanya, “Lalu apa yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau shalat Id kemudian memberikan keringanan untuk Jum’at, beliau bersabda, ‘Barangsiapa berkenan untuk shalat maka hendaknya dia shalat.’ Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Wallahu a’lam.

mandi

Segala puji bagi Allah swt yang telah mensyariatkan mandi dalam kondisi di mana seorang muslim sangat memerlukannya, tanpa mandi seorang muslim akan selalu marasa malas dan lemas, dengan mandi kesegaran dan semangat pulih kembali.

Kapan seorang muslim harus mandi?

1- Setelah melakukan hubungan suami istri,
walaupun tidak mengeluarkan.

Firman Allah, “Dan jika kamu junub maka mandilah.” (Al-Maidah: 6).

Imam asy-Syafi'i berkata, “Dalam bahasa Arab seseorang dianggap junub jika dia melakukan hubungan suami istri walaupun tidak mengeluarkan.”

Nabi saw bersabda,


إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ. متفق عليه، وَزَادَ مُسْلِم وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ .

Jika suami duduk di antara empat cabangnya kemudian dia menggerakkannya maka telah wajib mandi.” (Muttafaq alaihi). Muslim menambahkan, “Walaupun tidak mengeluarkan.

2- Setelah mengeluarkan air mani, bisa melalui mimpi atau persentuhan kulit dengan istri atau karena sebab-sebab yang lain.

Dari Ummu Salamah bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, apakah wanita wajib mandi jika dia bermimpi?” Nabi saw menjawab, “Ya, jika dia mendapatkan air.” (Muttafaq alaihi).
Muslim menambahkan, Ummu Salamah berkata, “Mungkinkah itu?” Rasulullah saw menjawab, “Kalau tidak maka dari mana kemiripan?”

3- Setelah haid dan nifas

Firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci, apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al-Baqarah: 222).

Nabi saw bersabda kepada Fatimah binti Abu Hubaisy,


إِذَا أَقْبَلَتْ الحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِى وَصَلىِّ

Jika haidmu datang maka tinggalkanlah shalat, jika ia berlalu maka mandilah dan shalatlah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Pantangan orang junub
1- Shalat.
2- Thawaf.
3- Menyentuh mushaf dan membawanya, ini bukan kesepakatan.
4- Membaca al-Qur`an, Ali bin Abu Thalib berkata, “Rasulullah saw membacakan al-Qur`an kepada kami selama beliau tidak junub.” (HR. Ashab as-Sunan dan Ahmad, dishahihkan oleh at-Tirmidzi). Ini bukan kesepakatan.
5- Berdiam di masjid.
Firman Allah, “Jangan pula hampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedar berlalu saja, sehingga kamu mandi.” (An-Nisa`: 43).

Tata cara mandi

Aisyah berkata, “Apabila Rasulullah saw mandi junub, beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya, kemudian beliau menuangkan dengan tangan kanannya ke tangan kirinya lalu beliau membasuh kelaminnya, kemudian beliau berwudhu, kemudian beliau mengambil air lalu memasukkan jari-jarinya ke dasar rambut, kemudian beliau menuangkan air ke kepala tiga kali, kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuh, kemudian beliau membasuh kedua kakinya.” (Muttafaq alaihi).

Dari hadits ini kita mengetahui mandi Rasulullah saw.
1- Membasuh kedua tangan, karena keduanya merupakan alat.
2- Membersihkan kelamin dengan tangan kiri.
3- Berwudhu sempurna, atau berwudhu kecuali membasuh kedua kaki, yang terakhir ini bisa diakhirkan, berdasarkan hadits Maemunah tentang mandi Nabi saw yang menyebutkan wudhu kecuali membasuh kedua kaki, lalu dia berkata, “Kemudian beliau menyingkir dari tempatnya lalu membasuh kedua kakinya.”
4- Meratakan air ke kulit kepala.
5- Mengguyur kepala dengan air tiga kali.
6- Meratakan air ke seluruh tubuh.
Mandi ini berlaku untuk laki-laki dan wanita, kecuali wanita selesai haid atau nifas, disunnahkan baginya setelah mandi mengambil kapas yang dibasahi dengan wewangian untuk membersihkan noda-noda darah.
Rasulullah saw bersabda kepada Asma` binti Yazid, “…Kemudian mengambil kapas yang ditetesi minyak wangi dan membersihkan diri dengannya.” Dia berkata, “Bagaimana membersihkan diri dengannya?” Nabi saw bersabda, “Subhanallah, bersihkanlah dirimu dengannya.” Aisyah berkata, sepertinya dia tidak mengerti, maka aku berbisik kepadanya, “Bersihkanlah bekas-bekas darah” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

PERSELISIHAN DI ANTARA SAHABAT

Di antara akidah Ahlus Sunnah adalah kebersihan lisan merekan dari apa yang terjadi di antara mereka dalam bentuk perselishan dan pertikaian, karena Ahlus Sunnah menahan diri dari hal tersebut.

Setelah terbunuhnya Umar bin al-Khattab di kalangan sahabat terjadi perselisihan-perselisihan, ia semakin memuncak di akhir khilafah Usman dan puncaknya adalah terbunuhnya Khalifah Rasyid, menantu Rasulullah saw, suami dari dua orang putri beliau, maka terjadilah di antara mereka apa yang terjadi sampai terjadi peperangan.

Ini adalah persoalan yang masyhur, ia terjadi – tanpa ragu – karena takwil dan ijtihad, masing-masing pihak mengira benar. Tidak mungkin bagi kita berkata: Aisyah az-Zubair bin al-Awwam memerangi Ali sementara mereka sendiri meyakini di atas kebatilan sedangkan Ali di atas kebenaran.

Namun keyakinan mereka bahwa mereka benar tidak berarti bahwa mereka memang benar. Akan tetapi kalau mereka salah dan kita mengetahui bahwa mereka tidak melakukan hal ini kecuali berdasarkan kepada ijtihad, maka Nabi telah menetapkan bahwa, “Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu dia berijtihad dan benar maka dia memperoleh dua pahala. Jika dia menetapkan hukum lalu berijtihad dan salah maka dia memperoleh satu pahala.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Kami katakan, mereka adalah orang-orang yang berijtihad dan kalaupun mereka salah maka mereka memperoleh satu pahala. Inilah yang terjadi dan sikap kita kepadanya terlihat dari dua sisi: Pertama, hukum terhadap pelaku dan kedua adalah sikap kita terhadap pelaku.

Yang pertama telah dijelaskan yaitu bahwa apa yang kita yakini di hadapan Allah adalah bahwa apa yang terjadi pada mereka berasal dari hasil ijtihad, pelaku ijtihad yang salah diampuni dan dimaklumi.

Adapun sikap kita kepada pelaku maka kita wajib menahan diri dari apa yang mereka perselisihkan. Mengapa kita jadikan perbuatan mereka sebagai lahan untuk mencaci, mencela dan melecehkan mereka dan hal itu memicu kebencian di antara kita, kalau kita melakukan maka bisa jadi kita salah atau tidak bersalah dan kedua-duanya tidak menguntungkan. Yang wajib bagi kita dalam perkara sepeti ini adalah menahan diri dari apa yang terjadi di antara para sahabat.

Ada beberapa riwayat terkait dengan terjadinya perselisihan di antara para sahabat. Ibnu Taimiyah membagi riwayat-riwayat tentang keburukan para sahabat dalam hal ini menjadi tiga:

Pertama: Dusta murni, tidak terjadi pada mereka. Ini banyak sekali ditemukan dalam riwayat Nawashib tentang Ahli Bait dan riwayat Rafidhah tentang selain Ahli Bait.

Kedua: Riwayat yang memiliki asal usul hanya saja ia telah ditambah atau dikurangi atau dibelokkan dari aslinya demi kepentingan hawa nafsu dan tendensi buruk lainnya. Kedua bagian ini wajib ditolak dan dibuang sejauh-jauhnya.

Ketiga: Riwayat shahih. Ibnu Taimiyah menjelaskannya dengan ucapannya, “Dan mereka harus dimaklumi pada yang shahih darinya karena bisa jadi mereka adalah orang-orang yang berijtihad lalu benar atau orang-orang yang berijtihad lalu salah.”

Apa yang terjadi antara Ali dan Muawiyah berawal dari ijtihad dan takwil. Sekalipun tanpa ragu Ali lebih dekat kepada kebenaran daripada Muawiyah bahkan kita hampir memastikan bahwa Alilah yang benar, hanya saja Muawiyah adalah orang yang berijtihad.

Sabda Nabi ini menunjukkan bahwa Ali lebih dekat kepada kebenaran, “Duhai Ammar, dia dibunuh oleh kelompok pembangkang.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dan Ammar berada di pihak Ali lalu dia terbunuh oleh teman-teman Muawiyah. Dengan ini merekalah kelompok pembangkang yang memberontak kepada Imam atau pemimpin. Hanya sja mereka melakukan itu karena takwil dan kebenaran berada di pihak Ali dengan yakin minimal dugaan.

Ada bagian keempat yaitu kesalahan-kesalahan yang terjadi dari mereka bukan karena ijtihad dan bukan karena takwil. Penulis menjelaskannya dengan mengatakan, “Meskipun begitu mereka –yakni Ahlus Sunnah- tidak meyakini bahwa setiap sahabat ma’shum dari dosa besar dan kecil.” Mereka tidak meyakini itu karena Nabi bersabda, “]Setiap Bani Adam adalah pelaku kesalahan dan sebaik-baik pelaku kesalahan adalah yang bertaubat.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ahmad.

Secara personal dosa besar mungkin terjadi dari mereka sebagaimana yang terjadi pada Hassan bin Tsabit, Misthah bin Utsathah dan Hamnah binti Jahsy pada kisah dusta yang dituduhkan kepada Aisyah akan tetapi mereka telah bersih darinya dengan pelaksanaan had kepada mereka.

Dari Syarah Aqidah Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.

SAHABAT DAN KESALAHAN

Para sahabat adalah manusia, kesalahan dan dosa mungkin terjadi dari mereka, mereka tidak ma’shum, karena Allah hanya berkenan memberikan derajat ishmah hanya kepada para Nabi dan RasulNya, namun begitu para sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Para sahabat itu memiliki kebaikan-kebaikan di atas kita dan keutamaan-keutamaan yang membuat apa yang mereka lakukan – kalau dilakukan – diampuni.” Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah.

Para sahabat memiliki kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan yang tidak ditandingi oleh seorang pun, mereka menolong Nabi, berjihad dengan harta dan jiwa, mengorbankan leher mereka untuk menjunjung kalimat Allah, ini menyebabkan ampunan untuk apa yang mereka lakukan meskipun ia termasuk dosa besar selama tidak sampai pada tingkat kekufuran.

Salah satunya adalah kisah Hathib bin Abu Balta’ah ketika dia berkirim surat kepada Quraisy menyampaikan keberangkatan Rasulullah kepada mereka sampai Allah memberitahu NabiNya tentang itu sehingga suratnya tidak sampai kepada mereka. Maka Umar meminta izin kepada Nabi untuk memancungnya, Nabi bersabda, “Dia berperan serta dalam perang Badar. Siapa tahu bisa jadi Allah melongok kepada ahli Badar, lalu berfirman, ‘Lakukanlah apa yang kalian suka karena Aku telah mengampuni kalian’.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Kemudian dengan asumsi bahwa salah seorang dari mereka telah melakukan dosa maka bisa jadi yang bersangkutan telah bertaubat darinya, atau dia melakukan kebaikan yang menghapus, atau Allah mengampuni karena kebaikannya yang lalu, atau karena syafaat Nabi saw d mereka adalah orang-orang yang paling berhak atasnya, atau dosa itu diampuni karena ujian yang menimpa di dunia.”

Ini adalah perkara-perkara yang menghapus kesalahan yang terjadi di kalangan para sahabat.

Pertama, taubat. Yang bersangkutan telah bertaubat darinya sehingga akibat buruk dari kesalahannya telah terangkat dan terhapus. Jika hal ini berlaku untuk seluruh umat Muhammad saw, maka para sahabat adalah orang-orang yang paling patut dan mereka berada di barisan pertama.

Kedua, kebaikan yang menghapus kesalahan, berdasarkan firman Allah, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114).

Ketiga, keutamaan dan kebaikan masa lalunya, seperti dalam kisah Hathib di atas.

Keempat, syafaat Nabi saw. Yaitu untuk umat beliau di mana para sahabat adalah orang-orang yang paling berhak atasanya. Dan syafaat ini telah dijelaskan sebelumnya.

Kelima, ujian yang menimpa di dunia, karena ujian melebur dosa-dosa, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Tidak ada seorang Muslim yang ditimpa sesuatu yang menyakitkan, baik dalam bentuk sakit dan selainnya kecuali Allah meluruhkan kesalahan-kesalahannya seperti pohon menjatuhkan daun-daunnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hadits-hadits dalam bab ini berjumlah banyak dan terkenal.

Kadar yang layak diingkari dari perbuatan sebagian dari mereka sangatlah sedikit, lebih sedikit dari sedikit. Oleh karena itu Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak sebanding dengan keutamaan dan kebaikan mereka.”

Tanpa ragu sebagian dari mereka pernah mencuri, minum khamar, qadzaf dan zina, akan tetapi semua dosa ini tidak ada apa-apanya di depan kebaikan dan keutamaan mereka dan dari sebagian dosa tersebut telah dilaksanakan had atasnya. Jadi ia sebagai pelebur untuknya.

Apabila kamu melihat dengan ilmu dan bashirah serta sikap obyektif pada kebaikan mereka dan keutamaan yang Allah berikan kepada mereka niscaya kamu meyakini bahwa mereka adalah orang-orang terbaik setelah Nabi saw, mereka lebih baik daripada Hawariyin sahabat Isa, mereka lebih baik daripada orang-orang terpilih dari sahabat Musa dan lebih baik daripada orang-orang yang beriman kepada Nuh, Hud dan lain-lain.

Tidak ada seorang pun dari pengikut para Nabi yang lebih baik daripada sahabat. perkara ini adalah perkara yang maklum lagi jelas berdasarkan firman Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali Imran: 110). Orang-orang terbaik dari kita adalah sahabat karena orang terbaik adalah Nabi maka sahabatnya adalah sahabat terbaik. Ini menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah

Dari Syarah Aqidah Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.

Senin, 23 Agustus 2010

KEISTIMEWAAN IBADAH

Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS. al-Mukminun 115).

Ada dua tujuan besar dari penciptaan manusia, pertama, sebagai khalifah di muka bumi (QS. 2:30) dan kedua untuk beribadah kepada Allah (QS. 51-56 ). Makna ibadah dalam Islam amat luas, Ibnu Taimiyah menjalaskan, “Ibadah ialah segala amalan-amalan lahir maupun batin yang diridhai Allah.” Dengan begitu, ibadah dalam Islam meliputi banyak unsur, baik ibadah formal maupun di luar. Landasan yang kokoh menjadikan ibadah memiliki karakteristik dan keistemewaan khusus. Landasan-landasan tersebut adalah:

Pertama, ibadah dalam Islam dibangun atas cinta dan rindu kepada Allah swt.Dalam konsep ketuhanan yang diakui bangsa Yunani, digambarkan sebuah perseteruan antara Tuhan kebaikan (Ilah al-khair) dan Tuhan keburukan (Ilah al-syar). Masing-masing memiliki senjata, sementara manusia berada dalam posisi yang lemah, tunduk pada perlakuan kedua tuhan itu tanpa memiliki senjata. Dengan keyakinan seperti itu, menyembah kepada Tuhan hanyalah upaya menghilangkan rasa khawatir akan turunnya murka Tuhan yang bisa datang setiap saat. Ibadah seperti ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, apalagi mengenalkan manusia kepada yang menciptakan.

Sedang ibadah dalam Islam dibangun atas dasar kecintaan seorang hamba kepada rabbnya, tanpa paksaan dan kebencian. Sikap ini dicontohkan Nabiyulah Zakaria yang tunduk dan khusuk kepada Allah swt. sehingga permohonanya pun dikabulkan oleh Allah. “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusuk kepada kami (QS. al-Anbiya’ : 90).

Dengan cinta yang mendalam itu bahkan bisa sampai ketingkat yang amat agung, Allah swt sendiri banyak menjelaskan dalam hadis qudsi, bagaimana kesudahan seorang mu’min, seorang yang selalu mengisi hari-hari kekhilafannya dengan cinta yang melekat pada Allah swt. Dari abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda; “Pada setiap sepertiga malam terakhir Allah turun kelangit bumi seraya berkata: ‘adakah yang memohon kepadaku, niscaya akan aku kabulkan. Adakah yang meminta kepadaku, niscaya akan kuberi. Adakah yang meminta ampunan kepadaku, niscaya akan ku ampuni (Muttafakun ‘Alaih).

Dua, ibadah dalam Islam dibangun atas dasar kesiapan nalar dan qana’ah untuk menerima.

Ibadah dalam Islam akan tadabbur dan renungan (tafakur) yang menunjukkan daya pikir. Tentang apa yang ada di langit, di bumi dan di dalam diri manusia sendiri. Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri.” Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adzariyat: 20-22) Hasil tafakkur tersebut diharapkan mampu mendorong kemauan seorang mu’min untuk berbuat ihsan (kebaikan). Selalu mengingat Allah saat berdiri, duduk, dan ketika berbaring seraya mengukuhkan sikapnya tanpa ragu, “Wahai rabb ku, tidaklah engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha suci engkau, maka jauhkanlah kami dari siksa api neraka,” (QS 3-191).

Islam menolak ibadah yang khurafat, dan cerita palsu. Atau jampi-jampi dan hal aneh-aneh yang tidak dimengerti. Model ibadah (bid’ah) seperti ini justru banyak menjadi ajang pemainan para rohaniawan. Sehingga penganut keyakinan seperti ini sangat bergantung dalam ibadahnya kepada tokoh agama tersebut misal seperti halnya organisasi-organisasi Islam yang kurang bertanggung jawab. Contoh LDII, Ahmadiyah, thariqah-thariqah yang tidak mu’tabarah (tidak diaki secara syariat) dsb. Ketergantungan yang tinggi ini kadang dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan materi yang melimpah.

Ibadah dalam Islam tidak membutuhkan perantara (wasilah) ketergantungan pada rohaniawan seperti diatas nas-nas al-Quran serta sunah Rasulullah saw dengan jelas menerangaka hal itu. Prinsip inilah yang menjadikan ibadah dalam Islam senantiasa terpelihara, tetap dan terpelihara sesuai kejernihan, kejelasan, keluasannya serta keselarannya dalam menundukan kapasitas-kapasitas logika manusia.

Ketiga, ibadah dalam Islam melibatkan keseluruhan diri manusia. Banyak ibadah diluar Islam yang hanya menyentuh salah satu unsur dalam diri manusia, ada ibadah yang hanya mementingkan aspek rohani saja, ada yang hanya mementingkan aspek fisik saja, atau ada juga yang hanya unsur akal saja. Sedang ibadah dalam Islam melibatkan seluruh potensi rohani, akal, perasaan, hati nurani dan fisik sekaligus. Semuanya berjalan dengan sangat seimbang. Dalam sholat misalnya, terjadi aktifitas seluruh elemen diri manusia. Dzikir, pikir dan lahir, teranyam dengan indah, saling terkait dan tanpa keruwetan sedikitpun dalam interaksi samawi yang utuh dan teratur.

Dalam prinsip ini, tidak ada kesulitan dalam ajaran Islam. Allah swt berfirman, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dan ia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (ikutlah)agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah pula dalam (al-Qur’an ) ini. Supaya rasul itu menjadi saksi atas segenap manusia. Maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganlah kamu pada tali Allah. maka Dialah sebik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong.” (QS al -Hajj)

Keempat, ibadah adalah lentera pengawas manusia. Ibadah dalam Islam berfungsi sebagai pengawas yang selalu mengingatkan hati nurani manusia agar tetap berada di jalan yang benar. Sehingga hati itu senantiasa hidup dan juga akan mendorongnya untuk terus berkarya, memberikan sumbangsih apa saja yang bisa diberikan kepada kehidupan manusia sesuai daya dukung dan lingkungan yang mengitarinya. Hati nurani yang hidup akan mengantarkan pemiliknya kepada satu pilihan. Beramal sebaik–baiknya dengan penuh harap akan ampunan dan balasan Allah.

Sebagai seorang mukmin ia sadar sepenuhnya, bahkan disitulah dia akan menemukan ketentraman hidup, dan bukan dalam sikap malas, tidak produktif dan bekerja asal-asalan.

Tidak diragukan lagi, ibadah adalah mesin pendorong yang kuat sekali, yang mampu mendorong seorang mukmin untuk tiada hentinya menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk berprestasi. Sebuah masyarakat muslim yang menanamkan kekuatan ini dalam diri anggotanya akan mampu memperdayakan segala potensi mereka, maju melesat melampai masa. Kita tidak mungkin memandang kesuksesan agung para sahabat kecuali dengan tafsiran seperti ini.

MANFAAT ORGANISASI

Manusia tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Dia harus berinteraksi dengan orang lain. Mengapa demikian? Karena manusia itu makhluk sosial. Dia secara individual merupakan bagian dari orang lain. Maka, mau tidak mau kita sebagai manusia harus srawung dengan orang lain.
Salah satu cara berhubungan dengan orang lain adalah melalui organisasi. Melalui organisasi, kita mampu mengolah diri dengan benar, baik secara naluriah maupun fitrah.
Bukti telah banyak di depan mata. Orang-orang yang sukses sebagai pemimpin, pengusaha, atau status sosial yang mapan lainnya, pasti dulunya mereka pernah mengenyam pahit manisnya berorganisasi. Mereka banyak makan asam garam dalam organisasi itu. Sebut saja Gus Dur salah satunya.
Mengapa organisasi demikian penting bagi kita, terutama di zaman yang mendunia (global) saat ini? Itu tidak lain karena dalam berorganisasi kita akan terasah dan terlatih untuk hidup berjamaah dengan orang lain, baik suka maupun duka. Di suatu organisasi itulah tercampur secara alamiah berbagai perilaku dan sifat masing-masing anggota. Ada yang egois, namun ada pula yang sosial. Ada yang pendiam, tapi ada pula yang cerewetnya minta ampun.
Nah, dalam kebersamaan di organisasi itulah, akan terbentuk secara alami manusia yang sempurna dalam arti psikologis. Yakni, manusia yang mampu kapan saatnya menempatkan posisi dirinya sebagai individu dan kapan pula dia harus lebih mementingkan kepentingan organisasi demi kepentingan bersama pula.
Untuk mencapai nikmatnya manfaat berorganisasi itu memang butuh proses yang panjang dan lama. Tidak bisa kita hanya berorganisasi dalam beberapa bulan lalu menuntut kematangan pribadi seperti yang diuraikan tersebut.
Oleh karena itu, kita harus mengetahui bagaimana cara-cara berorganisasi yang baik. Berikut beberapa cirinya.
Pertama, organisasi harus memiliki anggota yang jelas identitas dan kuantitasnya. Untuk saat ini, setiap organisasi yang modern pasti menuntut para anggotanya memiliki KTA (kartu tanda anggota). Maka, tidak dibenarkan istilah ”Romli” atau “rombongan liar” yang merupakan kumpulan dari ”Talap” alias “anggota gelap” dari sebuah ”OTB” singkatan dari “organisasi tanpa bentuk”.
Kedua, organisasi harus memiliki pula identitas yang jelas tentang keberadaannya dalam masyarakat. Artinya, jelas di mana alamat kantornya. Tampak pula aktivitas sehari-hari kantor tersebut dalam menjalankan roda organisasi. Ada pula nama, lambang, dan tujuan organisasi yang termuat dalam AD (anggaran dasar) dan ART (anggaran rumah tangga).
Demikian pula struktur organisasinya. Masih banyak lagi yang bisa membuktikan keberadaan organisasi itu di mata masyarakat. Jika identitas tak jelas, maka jangan salahkan masyarakat bila menaruh curiga terhadap organisasi itu.
Ketiga, organisasi harus memiliki pemimpin serta susunan manajemen yang juga jelas pembagian tugasnya. Masing-masing bagian, divisi, maupun seksi juga aktif memainkan perannya. Jadi, sangat ganjil dan dipastikan ”sakit parah” jika organisasi itu yang tampak paling aktif adalah ketuanya sehingga tampak seperti pertunjukan sirkus one man show dalam manajemen organisasi itu.
Keempat, dalam setiap aktivitas organisasi harus mengacu pada manajemen yang sehat. Misalnya, ada tiga tahapan dalam menjalankan roda organisasi, yaitu planning (peren-canaan), action (pelaksanaan), dan evaluation (penilaian). Ketiga tahapan itu selalu dimusyawarahkan dan melibatkan sebanyak mungkin anggotanya, terutama saat melewati tahap action.
Dalam manajemen itu, yang juga harus mendapat perhatian serius adalah administrasi. Surat bernomor, kop surat, dan ciri-ciri administrasi lainnya yang lazim ada di sebuah organisasi.
Kelima, organisasi harus mendapat tempat di hati masyarakat sekitarnya. Artinya, organisasi itu dirasakan benar manfaatnya bagi masyarakat. Maka, kegiatan organisasi dituntut untuk mengakar kepada kebutuhan anggota khususnya, bahkan untuk masyarakat di sekelilingnya.
Jika kelima syarat organisasi sehat itu sudah ada, maka janganlah ragu untuk berkiprah di organisasi itu. Ikutlah secara aktif di dalam organisasi itu apa pun peran atau tugas yang diberikan ketua atau atasan langsung Anda. Ingatlah, sekecil apa pun peranan Anda di suatu organisasi dan Anda berhasil menjalankan amanat itu, berarti Anda memiliki andil dalam menghidupkan organisasi tersebut. Anda harus bangga bahwa ternyata Anda masih bermanfaat bagi organisasi. Itu juga berarti Anda bermanfaat bagi orang lain yang ada di organisasi. Kalau Anda sukses menjalankan tugas yang kecil tadi, pasti pemimpin Anda akan memberikan amanat yang makin besar dari waktu ke waktu. Bahkan, bukan suatu hal yang mustahil jika nanti Anda sendirilah yang memimpin organisasi itu. Modal pengalaman memimpin organisasi tadi pasti akan bermanfaat bagi Anda dalam terjun di organisasi kemasyarakatan yang lebih besar. Percayalah!
Akhirnya, selamat berhikmat dalam organisasi. Semoga Anda menuai manfaat dari hikmat berorganisasi itu kelak bila hidup di tengah-tengah masyarakat, baik lingkup desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, negara, bahkan tingkat dunia. Amin.
.