Senin, 23 Agustus 2010

KEISTIMEWAAN IBADAH

Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? (QS. al-Mukminun 115).

Ada dua tujuan besar dari penciptaan manusia, pertama, sebagai khalifah di muka bumi (QS. 2:30) dan kedua untuk beribadah kepada Allah (QS. 51-56 ). Makna ibadah dalam Islam amat luas, Ibnu Taimiyah menjalaskan, “Ibadah ialah segala amalan-amalan lahir maupun batin yang diridhai Allah.” Dengan begitu, ibadah dalam Islam meliputi banyak unsur, baik ibadah formal maupun di luar. Landasan yang kokoh menjadikan ibadah memiliki karakteristik dan keistemewaan khusus. Landasan-landasan tersebut adalah:

Pertama, ibadah dalam Islam dibangun atas cinta dan rindu kepada Allah swt.Dalam konsep ketuhanan yang diakui bangsa Yunani, digambarkan sebuah perseteruan antara Tuhan kebaikan (Ilah al-khair) dan Tuhan keburukan (Ilah al-syar). Masing-masing memiliki senjata, sementara manusia berada dalam posisi yang lemah, tunduk pada perlakuan kedua tuhan itu tanpa memiliki senjata. Dengan keyakinan seperti itu, menyembah kepada Tuhan hanyalah upaya menghilangkan rasa khawatir akan turunnya murka Tuhan yang bisa datang setiap saat. Ibadah seperti ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, apalagi mengenalkan manusia kepada yang menciptakan.

Sedang ibadah dalam Islam dibangun atas dasar kecintaan seorang hamba kepada rabbnya, tanpa paksaan dan kebencian. Sikap ini dicontohkan Nabiyulah Zakaria yang tunduk dan khusuk kepada Allah swt. sehingga permohonanya pun dikabulkan oleh Allah. “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusuk kepada kami (QS. al-Anbiya’ : 90).

Dengan cinta yang mendalam itu bahkan bisa sampai ketingkat yang amat agung, Allah swt sendiri banyak menjelaskan dalam hadis qudsi, bagaimana kesudahan seorang mu’min, seorang yang selalu mengisi hari-hari kekhilafannya dengan cinta yang melekat pada Allah swt. Dari abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda; “Pada setiap sepertiga malam terakhir Allah turun kelangit bumi seraya berkata: ‘adakah yang memohon kepadaku, niscaya akan aku kabulkan. Adakah yang meminta kepadaku, niscaya akan kuberi. Adakah yang meminta ampunan kepadaku, niscaya akan ku ampuni (Muttafakun ‘Alaih).

Dua, ibadah dalam Islam dibangun atas dasar kesiapan nalar dan qana’ah untuk menerima.

Ibadah dalam Islam akan tadabbur dan renungan (tafakur) yang menunjukkan daya pikir. Tentang apa yang ada di langit, di bumi dan di dalam diri manusia sendiri. Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri.” Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adzariyat: 20-22) Hasil tafakkur tersebut diharapkan mampu mendorong kemauan seorang mu’min untuk berbuat ihsan (kebaikan). Selalu mengingat Allah saat berdiri, duduk, dan ketika berbaring seraya mengukuhkan sikapnya tanpa ragu, “Wahai rabb ku, tidaklah engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha suci engkau, maka jauhkanlah kami dari siksa api neraka,” (QS 3-191).

Islam menolak ibadah yang khurafat, dan cerita palsu. Atau jampi-jampi dan hal aneh-aneh yang tidak dimengerti. Model ibadah (bid’ah) seperti ini justru banyak menjadi ajang pemainan para rohaniawan. Sehingga penganut keyakinan seperti ini sangat bergantung dalam ibadahnya kepada tokoh agama tersebut misal seperti halnya organisasi-organisasi Islam yang kurang bertanggung jawab. Contoh LDII, Ahmadiyah, thariqah-thariqah yang tidak mu’tabarah (tidak diaki secara syariat) dsb. Ketergantungan yang tinggi ini kadang dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan materi yang melimpah.

Ibadah dalam Islam tidak membutuhkan perantara (wasilah) ketergantungan pada rohaniawan seperti diatas nas-nas al-Quran serta sunah Rasulullah saw dengan jelas menerangaka hal itu. Prinsip inilah yang menjadikan ibadah dalam Islam senantiasa terpelihara, tetap dan terpelihara sesuai kejernihan, kejelasan, keluasannya serta keselarannya dalam menundukan kapasitas-kapasitas logika manusia.

Ketiga, ibadah dalam Islam melibatkan keseluruhan diri manusia. Banyak ibadah diluar Islam yang hanya menyentuh salah satu unsur dalam diri manusia, ada ibadah yang hanya mementingkan aspek rohani saja, ada yang hanya mementingkan aspek fisik saja, atau ada juga yang hanya unsur akal saja. Sedang ibadah dalam Islam melibatkan seluruh potensi rohani, akal, perasaan, hati nurani dan fisik sekaligus. Semuanya berjalan dengan sangat seimbang. Dalam sholat misalnya, terjadi aktifitas seluruh elemen diri manusia. Dzikir, pikir dan lahir, teranyam dengan indah, saling terkait dan tanpa keruwetan sedikitpun dalam interaksi samawi yang utuh dan teratur.

Dalam prinsip ini, tidak ada kesulitan dalam ajaran Islam. Allah swt berfirman, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dan ia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (ikutlah)agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah pula dalam (al-Qur’an ) ini. Supaya rasul itu menjadi saksi atas segenap manusia. Maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganlah kamu pada tali Allah. maka Dialah sebik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong.” (QS al -Hajj)

Keempat, ibadah adalah lentera pengawas manusia. Ibadah dalam Islam berfungsi sebagai pengawas yang selalu mengingatkan hati nurani manusia agar tetap berada di jalan yang benar. Sehingga hati itu senantiasa hidup dan juga akan mendorongnya untuk terus berkarya, memberikan sumbangsih apa saja yang bisa diberikan kepada kehidupan manusia sesuai daya dukung dan lingkungan yang mengitarinya. Hati nurani yang hidup akan mengantarkan pemiliknya kepada satu pilihan. Beramal sebaik–baiknya dengan penuh harap akan ampunan dan balasan Allah.

Sebagai seorang mukmin ia sadar sepenuhnya, bahkan disitulah dia akan menemukan ketentraman hidup, dan bukan dalam sikap malas, tidak produktif dan bekerja asal-asalan.

Tidak diragukan lagi, ibadah adalah mesin pendorong yang kuat sekali, yang mampu mendorong seorang mukmin untuk tiada hentinya menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk berprestasi. Sebuah masyarakat muslim yang menanamkan kekuatan ini dalam diri anggotanya akan mampu memperdayakan segala potensi mereka, maju melesat melampai masa. Kita tidak mungkin memandang kesuksesan agung para sahabat kecuali dengan tafsiran seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.